Sumbar || polhukrim.com
Ratusan orang yang merupakan warga Sawahlunto mengikuti Pawai Reog Ponorogo dari Sanggar Subur Budoyo dengan rute Lapsek- Pasar Remaja- Jalan Tangsi Baru- Goedang Ransoem. Reog yang memiliki bibit sekitar 59 kilogram diarak oleh para pemain yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan.
Pawai ini merupakan penutupan dari rangkaian kegiatan Galanggang Arang bagian 6 di Sawahlunto.
Marjadi, ketua dari Sanggar Subur Budoyo menyebutkan bahwa ia adalah keturunan ke 3 orang rantai di Sawahlunto. Tradisi ini dilestarikan untuk mengingat perjuangan leluhur mereka yang berjuang untuk kehidupan setelah dibawa Belanda dari Jawa ke Sawahlunto untuk bekerja.
"Berkesenian adalah cara untuk mengenang para leluhur. Jasa mereka tidak pernah kami lupakan," ujar Marjani. Saat itu Sawahlunto menjadi situs tambang pertama di Asia Tenggara yang mulai dibuka pada tahun 1876 dan beroperasi di tahun 1891. "Ayah dan mbah saya dulunya pekerja tambang sekaligus seniman budaya Jawa. Sayapun dulu bekerja di PTBA dan sejak kecil sudah berkesenian. Tahun 2016, saya memutuskan menekuni sanggar kebudayaan Subur Budoyo," cerita Marjadi. (3/12)
Sanggar Subur Budoyo beranggotakan 40 orang yang berasal dari berbagai etnis dan umur. Selain Reog Ponorogo, sanggar ini juga mengembangkan seni kuda kepang dan jaranan pegon ciri khas Kediri Jawa Timur.
Di Sawahlunto, kesenian Reog telah berkembang sejak pertama kali tambang batubara dibuka hingga daerah ini ditetapkan sebagai zona A pada Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) oleh UNESCO di 6 Juli 2019.
Melalui Galanggang Arang yang merupakan program strategis Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kemdikbudristek RI yang diluncurkan 19 Oktober lalu di Padang, kebudayaan yang bertumbuh di sepanjang jalur WTBOS kembali dihidupkan.
Reog Ponorogo diketahui telah diajukan ke ICH- UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Sebelumnya Kemendikbud telah menetapkan WBTB Indonesia pada 16 Desember 2013. Edy Utama, kurator Galanggang Arang menyebutkan pertunjukan ini memiliki keterikatan sejarah dengan rakyat.
"Tradisi floklor sesungguhnya ada dalam diri setiap masyarakat. Ketika pertunjukan digelar ada ketersambungan secara otomatis antara penampil dengan penonton," papar Edy. (3/12)
Menurut Edy, keterlibatan bermakna dari warga adalah semangat Galanggang Arang yakni anak nagari merayakan warisan dunia. Sebuah pergelaran diharapkan mampu memunculkan sebuah ikatan emosional yang sangat jujur dan tulus dari para pewaris warisan dunia.
"Galanggang Arang adalah sebuah upaya membangkitkan kembali ikatan kultural di dalam ruang publik. Karenanya, perhelatan ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri, ia harus lahir dari semangat banyak pihak," ujar Edy.
Bagi Edy bukan persoalan yang mudah memelihara kesadaran dan memanfaatkan WTBOS, di tengah ingatan masyarakat yang mulai menipis tentang nilai-nilai kekerabatan maupun solidaritas. Barangkali bagi masyarakat sekarang, warisan ini tidak sepenting rumah gadang dan surau yang mereka biarkan runtuh. Melalui gelaran ini diharapkan menyentuh dan merangsang kesadaran masyarakat untuk merawat dan mengembangkan budaya yang telah ada.
"Bangsa yang punya kekuatan secara sosial, ekonomi dan budaya adalah bangsa yang memelihara warisan sejarahnya dengan baik. Orang yang melupakan sejarah dan sistem sejarah masa lalunya itu akan menjadi masyarakat yang goyah dan gampang terombang-ambing," tutup Edy.
Selain reog, selama 3 hari berturut-turut juga dilaksanakan berbagai macam kegiatan dari belasan komunitas di Sawahlunto antara lain drama tari, puisi, perkusi musik tradisi, diskusi terpumpun, perayaan stasiun keroncong, dan lainnya.
Jurnalis : M. Zega
Ratusan orang yang merupakan warga Sawahlunto mengikuti Pawai Reog Ponorogo dari Sanggar Subur Budoyo dengan rute Lapsek- Pasar Remaja- Jalan Tangsi Baru- Goedang Ransoem. Reog yang memiliki bibit sekitar 59 kilogram diarak oleh para pemain yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan.
Pawai ini merupakan penutupan dari rangkaian kegiatan Galanggang Arang bagian 6 di Sawahlunto.
Marjadi, ketua dari Sanggar Subur Budoyo menyebutkan bahwa ia adalah keturunan ke 3 orang rantai di Sawahlunto. Tradisi ini dilestarikan untuk mengingat perjuangan leluhur mereka yang berjuang untuk kehidupan setelah dibawa Belanda dari Jawa ke Sawahlunto untuk bekerja.
"Berkesenian adalah cara untuk mengenang para leluhur. Jasa mereka tidak pernah kami lupakan," ujar Marjani. Saat itu Sawahlunto menjadi situs tambang pertama di Asia Tenggara yang mulai dibuka pada tahun 1876 dan beroperasi di tahun 1891. "Ayah dan mbah saya dulunya pekerja tambang sekaligus seniman budaya Jawa. Sayapun dulu bekerja di PTBA dan sejak kecil sudah berkesenian. Tahun 2016, saya memutuskan menekuni sanggar kebudayaan Subur Budoyo," cerita Marjadi. (3/12)
Sanggar Subur Budoyo beranggotakan 40 orang yang berasal dari berbagai etnis dan umur. Selain Reog Ponorogo, sanggar ini juga mengembangkan seni kuda kepang dan jaranan pegon ciri khas Kediri Jawa Timur.
Di Sawahlunto, kesenian Reog telah berkembang sejak pertama kali tambang batubara dibuka hingga daerah ini ditetapkan sebagai zona A pada Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) oleh UNESCO di 6 Juli 2019.
Melalui Galanggang Arang yang merupakan program strategis Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kemdikbudristek RI yang diluncurkan 19 Oktober lalu di Padang, kebudayaan yang bertumbuh di sepanjang jalur WTBOS kembali dihidupkan.
Reog Ponorogo diketahui telah diajukan ke ICH- UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Sebelumnya Kemendikbud telah menetapkan WBTB Indonesia pada 16 Desember 2013. Edy Utama, kurator Galanggang Arang menyebutkan pertunjukan ini memiliki keterikatan sejarah dengan rakyat.
"Tradisi floklor sesungguhnya ada dalam diri setiap masyarakat. Ketika pertunjukan digelar ada ketersambungan secara otomatis antara penampil dengan penonton," papar Edy. (3/12)
Menurut Edy, keterlibatan bermakna dari warga adalah semangat Galanggang Arang yakni anak nagari merayakan warisan dunia. Sebuah pergelaran diharapkan mampu memunculkan sebuah ikatan emosional yang sangat jujur dan tulus dari para pewaris warisan dunia.
"Galanggang Arang adalah sebuah upaya membangkitkan kembali ikatan kultural di dalam ruang publik. Karenanya, perhelatan ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri, ia harus lahir dari semangat banyak pihak," ujar Edy.
Bagi Edy bukan persoalan yang mudah memelihara kesadaran dan memanfaatkan WTBOS, di tengah ingatan masyarakat yang mulai menipis tentang nilai-nilai kekerabatan maupun solidaritas. Barangkali bagi masyarakat sekarang, warisan ini tidak sepenting rumah gadang dan surau yang mereka biarkan runtuh. Melalui gelaran ini diharapkan menyentuh dan merangsang kesadaran masyarakat untuk merawat dan mengembangkan budaya yang telah ada.
"Bangsa yang punya kekuatan secara sosial, ekonomi dan budaya adalah bangsa yang memelihara warisan sejarahnya dengan baik. Orang yang melupakan sejarah dan sistem sejarah masa lalunya itu akan menjadi masyarakat yang goyah dan gampang terombang-ambing," tutup Edy.
Selain reog, selama 3 hari berturut-turut juga dilaksanakan berbagai macam kegiatan dari belasan komunitas di Sawahlunto antara lain drama tari, puisi, perkusi musik tradisi, diskusi terpumpun, perayaan stasiun keroncong, dan lainnya.
Seluruh penampilan tersebut bernuansa multikultural yang merupakan wajah asli dari Sawahlunto dan memiliki keterhubungan kuat dengan WTBOS.
Jurnalis : M. Zega